Suatu ketika, ada seorang ustadz yang telah tiba kembali ke tanah air, dari
perjalanan haji di mekkah sekaligus menuntut ilmu di sana. Sepulangnya dari sana, beliau membawa bekal pengetahuan dan kepribadian baru, yang dulu belum dimiliki olehnya.
Dengan berbekal ilmu pengetahuan dan kepribadian baru itu, beliau bersiap untuk mendakwahkan apa yang sudah didapatnya di
masyarakat sekitar, di tanah air. Setelah beberapa saat berdakwah, ia diberikan
amanah oleh orang tuanya, untuk melanjutkannya dalam mengurus sebuah langgar. Dalam bahasa sehari-hari, langgar biasa di sebut juga sebagai mushola atau tempat
ibadah bagi umat muslim, tapi ukurannya kecil.
Langgar itu terlihat sangat sederhana. Jika melihat dindingnya, sangatlah
sederhana. Dindingnya tak lebih dari lembaran-lembaran bambu yang dirajut
menjadi satu. Tiangnya, juga sama. Terbuat dari bambu. Kemudian lantainya, juga
terbuat dari anyaman rangkaian kau dan bambu. Bahkan atapnya pun sangat
sederhana, terbuat juga dari bahan-bahan alam yang mudah didapatkan. Jika kita
malam hari mampir untuk beribadah di langgar tersebut, hidung kita akan menjadi
hitam karena asap yang kita hirup dari lampu minyak yang menempel reat di
dinding langgar.
Langgar itu sangatlah sederhana, tidak seperti mushola sekarang yang sudah
sangat layak, aman, dan nyaman untuk digunakan. Dindingnya sudah kuat, penerangannya
sudah menggunakan lampu yang berwatt-watt, bahkan bukan hanya lampu yang bisa
memberikan penerangan saja, tapi lampunya juga harus yang bagus, harus lampu
gantung yang berkilau-kilau, blink-blink, dan pernak pernik yang selainnya.
Namun sayang, itu hanya material yang dipajang. Sebuah intermezo yang cukup
menohok bagi saya.
Kembali ke langgar sang ustadz. Di langgar tersebut, sering diadakan
pengajian. Objek pengajiannya adalah siapa saja yang mau untuk belajar agama di
sana. Ngga ada yang melarang, dan ngga ada yang memaksa. Maka dari itu, yang
hadir di langgar itu tidak banyak, bahkan masih bisa dihitung dengan mudah
tanpa perlu perkalian dan perhitungan yang rijit, di hitung ala anak TK dengan jari
jemari pun sudah bisa diketahui berapa jumlah yang hadir disana. Anak yang
hadir disana, terdiri dari latar belakang yang berbeda-beda. Namun, sang ustadz
tidaklah mempermasalahkan hal tersebut. Baginya, yang terpenting adalah bisa
menyebarkan nilai-nilai keislaman dan nilai kebenaran.
Materi-materi di pengajian tersebut, tidaklah berat. Ringan. Mudah
dipahami dan mudah dicerna. Dekat dengan keadaan lingkungan kita sehari-hari.
Salah satu materi yang paling saya sukai dari langgar itu adaah :
pembahasan mengenai surat al-ma’un yang diadakan beberapa kali pertemuan. Pada
pengajian pertama, ustadznya mengajarkan untuk membaca surat al-maun.
“ayo anak-anak dibuka qurannya... Di buka quran surat Al-Ma’un ya...” kata
sang ustadz. Mendengar apa kata ustadznya itu, seluruh siswa langsung mencari
surat tersebut. “Eh, sudah ketemu belum?” tanya murid A. “belum nih, yang mana
yah? Coba tolong bantuin dong”. Melihat kebingungan muridnya, sang ustadz
berkata, “Sudah ketemu belum ? ayo yang belum ketemu suratnya di bantu ya
temannya....” Setelah beberapa lama, muridnya menemukan surat tersebut dan siap
membacanya. “Sudah semua? Ayo ta’awudz bersama....” Kata sang ustadz,
murid-muridnya pun mengikuti untuk membaca ta’awudz bersama.
Setelah membaca quran itu, sang ustadz membimbing anak muridnya untuk
membacakan artinya. “ayo, setelah baca arabnya, sekarang baca artinya. “Ayo
coba dibaca.” Kata sang ustadz kepada salah satu muridnya. Kemudian muridnya
membacakan artinya dari ayat pertama hingga selesai.
Setelah muridnya membacakan ayat tersebut, sang ustadz memberikan bimbingan
kepadanya. “Kalau membaca al-quran, kita perlu mengetahui artinya, jangan hanya
arabnya saja. Kalau kita baca arabnya saja, kita tidak akan mengerti artinya.
Wong kita aja ngga ngerti bahasa arab? Bagaimana kita bisa mengerti bahasa
al-quran yang isinya pakai bahasa arab?”. Semua murid terdiam, seolah baru
memahami bahwa membaca al-quran itu perlu melihat artinya juga. “Al-quran itu
petunjuk. Petunjuk hidup bagi manusia. Alquran itu petunjuk hidup. Yah?
Al-quran itu apa? Pe-tun-juk hi-dup” sang ustadz kemudian mengejanya bersama
dengan muridnya. “iya, petunjuk hidup. Ibaratkan kita beli HP baru yang belum
pernah kita tau cara kerjanya. Gimana cara nelfon kita ngga tau, gimana cara buat
kirim SMS, dan yang selainnya. Tapi kita dikasih buku panduannya. Maka cara
kita biar tau adalah dengan membaca bukunya.” Kemudian sang ustadz melanjutkan
“Nah... di dalam buku itu, ada banyak bahasa. Ada bahasa china, ada bahasa
thailand, ada bahasa inggris, bahasa jerman, termasuk bahasa Indonesia. Waktu
itu, kondisi kita bisa saja membaca petunjuk yang menggunakan bahasa Inggris,
dengan lafadz yang benar-benar fasih, cara membacanya sudah sangat tepat,
pronounsiacionnya sudah sangat pas. Ngga kurang, ngga lebih. Tapi masalahnya,
kita hanya bisa bacanya saja. Sedangkan artinya kita ngga paham. Lantas waktu
itu, maka apa yang kita lakukan?” Para murid masih memperhatikan dengan sangat
fokus. Agak tertegun dengan pertanyaan retoris yang diajukan oleh sang ustadz.
“Membaca petunjuk dengan bahasa yang kita mengerti. Sekarang Bapak mau tanya,
kalau kita hanya baca buku tersebut dalam bahasa inggris tapi kita ngga paham
artinya, apakah kita bisa menggunakan HP itu?” “tidaaakkk!!!” Jawab muridnya
bersama-sama. “Tidak bisa. Sama halnya seperti alquran, kita juga ngga bisa
memahami apa itu petunjuk hidup, kalau kita ngga paham apa arti alquran
tersebut. Itu sebabnya mengapa kita perlu membaca artinya juga, bukan hanya
arabnya saja.”
“Terus Pak, kita udah baca artinya dalam bahasa Indonesia. Tapi kalo kita
ngga paham maksudnya gimana? Apakah kita bisa mengartikan maksudnya sendiri?
Sesuai dengan pemahaman kita” salah seorang murid bertanya.
“Pertanyaan yang bagus.” Sang ustadz tersenyum. “mungkin diantara kalian
ada yang mau jawab?” tanya ustadz sambil mengayunkan tangannya, menawarkan
kepada anak-anak yang ada disana untuk menjawabnya. Anak-anak terdiam, mungkin
belum mengetahui apa jawabannya. “Kalau itu, berbeda lagi. Setelah kita membaca
artinya. Kalau kita ngga ngerti apa maksud dari perkataan tersebut, kita tetap
ngga boleh memahami artinya itu terserah kita. Harus ada caranya. Inget ya...
Ada caranya tersendiri. Jadi ngga sembarangan ya. Nah, kalau kalian kan belum
bisa mengerti caranya, bisa tanya sama Bapak. Nanti InsyaAllah akan bapak bantu
untuk menjelaskan maksudnya. Lalu, satu lagi. Kalau kita sudah memahami
maksudnya, kita juga perlu mengeceknya juga, apakah pemahaman kita benar
terhadap ayat tersebut ataukah tidak. Jadi biar pemahaman kita itu ngga ngawur.
Mengerti?” “mengerti, Pak Ustadz” jawab murid serentak. “Jadi, kalau nanti
membaca alquran di rumah, dibaca juga ya artinya, biar ada sedikit mengerti
maksudnya tadi ayat yang dibaca apa. Mulai dari surat-surat pendek aja, gausah
yang panjang-panjang dulu. Ya anak-anak?” “Iya Pak” “Baik kalau gitu, sebelum
kita tutup pengajian hari ini, ada yang mau ditanyakan dulu?” “ada pak,
sebentar” seorang murid antusias untuk bertanya. “Kalau kita tadi sudah baca
artinya surat al-maun, lantas apa makna dari surat al-maun ini ustadz?”
Sang ustadz tersenyum senang melihat muridnya sangat antusias mengikuti
pengajiannya. “Insya Allah kalau itu, akan kita bahas di pertemuan selanjutnya
yah. Jadi pertemuan besok harus ikut yah. Biar bisa paham maksudnya ayat
tersebut itu apa” Ustadz tersenyum lebar. Murid yang bertanya tadi sedikit
kecewa, tapi cenderung semangat untuk mengikuti pertemuan yang selanjutnya. “Sabar
ya, hehehe. InsyaAllah minggu depan dibahas. Baik, ada yang lain? Kalau tidak
ada, mari kita tutup dengan bacaan doa penutup majelis.” “subhanka allahumma
wabihamdika, astaghfiruka, waatubu ilaih ”
note : cerita diatas hanyalah fiktif belaka, jika ada kebaikan darinya, Saya persilahkan untuk mengambil hikmahnya. Namun jika ada kesalahan darinya, Farhan Mardian sebagai penulis artikel diatas memohon maaf sebesar-besarnya dan silahkan tinggalkan kritik dan saran Anda di bawah, atau langsung menghubungi penulis di email : ms.farhan82[at]gmail.com
Sumber gambar : infotpa.blogspot.com
Comments
Post a Comment